Suatu hari pada
tahun 1922. Soekarno sedang berjalan-jalan di Jalan Braga, Bandung. Di depan
sebuah gedung, tiba-tiba pandangan matanya tertumpu pada papan nama bertuliskan
Algemene Levensverzekering Maatschappij Indonesia. Yang membuat si Bung
tertarik adalah penggunaan kata "Indonesia" yang kala itu tergolong
langka. Maka, Soekarno pun mampir dan berkenalan dengan pemilik perusahaan
asuransi di gedung itu, Gerungan Saul Samuel Jacob Sam. Lelaki yang akrab
dipanggil Sam itu pun berkata, "Itulah ideku, yakni agar Tanah Air kita
yang terdiri dari beribu-ribu pulau itu bersatu dan diberi satu nama. Namanya
telah saya tetapkan bersama pemuda-pemudi kita yang berada di Eropa, yaitu
Indonesia." Memang, Sam adalah orang Indonesia pertama yang berani
memperkenalkan nama Indonesia secara resmi di depan publik.
Pertemuan dengan Sam
menyisakan kenangan berkesan di hati Soekarno. Setelah terpilih menjadi
Presiden Republik Indonesia, dalam salah satu pidatonya Soekarno pernah
menceritakan lagi pertemuan tersebut. Bahkan, Soekarno menyebut Sam sebagai
gurunya di bidang politik. Sejarah pergerakan nasional yang tak menyebut peran
G.S.S.J. Sam, ucapnya, adalah pincang dan tidak lengkap.
Ya, memang tak
lengkap jika tak menyebut nama itu. Jauh hari sebelum kemerdekaan Indonesia
diproklamasikan, Sam sudah menuliskan bahwa suatu hari Hindia akan menjadi
bangsa merdeka. Sebab, sejarah tak pernah memperlihatkan adanya satu bangsa pun
yang sepanjang masa dijajah. Sejak 1913, ia berusaha menyita perhatian Belanda
dan Hindia agar menyiapkan sebuah perpisahan mutlak yang tak dapat
ditawar-tawar. Dalam pikirannya, perpisahan itu sebaiknya diatur dalam bentuk
perceraian yang penuh persahabatan, yang dikemas dalam bentuk pertukaran
unsur-unsur budaya yang bermanfaat bagi kedua pihak.
Memang, pemikiran
itu tergolong prematur. Daniel Dhakidae, dalam tulisannya “Gerungan Saul Samuel
Jacob Sam, Pijar-pijar Bintang Kejora dari Timur” (Kompas, 1 Januari 2000),
mengibaratkan perkataan Sam di tahun 1913 itu sama saja dengan mengucapkan
bahwa Orde Baru akan hancur di tahun 1974. Artinya, benteng yang dihadapi
terlalu keras. Namun, itu menunjukkan pemikiran Sam sangat visioner dan
meneropong jauh ke depan.
Analisisnya dalam
meneropong masa depan tergolong tajam. Lihat saja, ketika menyampaikan pidato
di Amsterdam, Belanda, 22 Mei 1915, berjudul “Cita-cita Minahasa”, Sam membuat
analisis tentang perkembangan negara imperialis. Perang Pasifik merupakan sesuatu
yang telah dihitung Sam. "Kita jangan melihat keadaan di Indonesia saja.
Di luar Indonesia ada kekuatan-kekuatan yang sewaktu-waktu membahayakan Tanah
Air kita. Kejadian akhir-akhir ini menunjukkan bahwa salah satu negara di Asia
Utara akan mempergunakan kesempatan dengan adanya kerusuhan-kerusuhan di Eropa
untuk melebarkan daerahnya ke Indonesia. Perbuatan Jepang yang boleh dinilai
sekehendak hati dapat dianggap sebagai jawaban atas ini," katanya.
Pemikirannya
tersebut menunjukkan keyakinan Sam bahwa suatu hari sejarah penjajahan di
Indonesia akan berlanjut pada pendudukan Jepang. Benar saja, serangan Jepang
atas Indonesia memang benar-benar terjadi pada 1942.
Dengan melihat
kemampuan daya pikirnya, tak berlebihan jika sejumlah pakar menyebutnya sebagai
salah seorang futurolog yang pernah dimiliki Indonesia. Seperti dituturkan
Dhakidae, kebangkitan Islam pun sudah diprediksikan oleh Sam setelah melihat
berbagai gejala dunia pada saat itu. Bagi Sam, kesadaran nasional hanya bisa
bangkit bersama agama. Dalam hal ini, agama merupakan antitesis terhadap
kenyataan politik dan ekonomi kolonial.
Pantaslah jika ia
disebut sebagai pejuang yang lebih menekankan aspek intelektualitas. Lagi pula,
ia bukanlah pejuang yang radikal. Lihat saja, ketika PKI dan PNI diporak-porandakan
pada 1926 dan 1927, sikap Sam nyaris tak terdengar. Padahal, kedua peristiwa
itu merupakan bentuk perlawanan terbesar atas pemerintah kolonial.
Bisa jadi, Sam
memang menerjemahkan perubahan melalui polanya sendiri. Dan, ia telah banyak
memberikan kontribusi bagi perubahan sosial. Pada saat menjabat Ketua Minahasa
Raad (Dewan Minahasa) di Manado pada 1924 hingga 1927, misalnya, ia berhasil
menghapuskan kerja rodi terhadap rakyat Minahasa. Selain itu, Sam berhasil
membuka daerah baru melalui program transmigrasi lokal di Minahasa Selatan.
Dengan demikian, terbukalah kesempatan bagi rakyat Minahasa untuk meningkatkan
taraf hidup mereka.
Ia juga menaruh
perhatian besar pada pendidikan. Ia mampu menggalang dana dari para dermawan
melalui sebuah yayasan yang diketuainya sendiri. Yayasan tersebut didirikan
untuk membantu pemuda-pemuda berbakat yang tak memiliki biaya dalam melanjutkan
studi.
Semua cerita
tentang Sam bermula dari Tondano, Minahasa, Sulawesi Utara. Di daerah itu, Sam
dilahirkan pada 5 November 1890. Seperti para pejuang pergerakan nasional
lainnya, ia berasal dari keluarga terpandang. Ayahnya, Jozias Sam, adalah
Kepala Distrik Kasendukan. Kakak perempuan Sam, Kayes Rachel Wilhemina Maria,
adalah wanita Indonesia pertama yang bisa memperoleh ijazah Kleinambtenaar
Examen pada 1898.
Sebagai seorang
aristokrat, saat berusia enam tahun ia bisa bersekolah di Europesche Lagere
School (ELS). Kepala sekolahnya mengajarkan bahasa Belanda dengan
sungguh-sungguh. Akibatnya, Sam lebih mahir berbahasa Belanda ketimbang
kebanyakan orang-orang Belanda sendiri. Lulus dari ELS, ia melanjutkan ke
Hoofdenschool, sekolah elite lokal bagi kalangan atas.
Beginilah watak
orang cerdas, Sam merasa jengah terhadap mutu pendidikan di Hoofdenschool. Ia
menganggap mutu sekolah itu sangat rendah sehingga ia merasa tak banyak
memperoleh pengetahuan. Maklumlah, pelajaran di sana banyak yang sudah
diketahuinya lewat buku-buku ayahnya. Sam pun mulai melirik Pulau Jawa karena
seorang sepupunya ada yang belajar di Batavia, tepatnya di School tot Opleiding
van Indische Artsen (STOVIA) atau sekolah kedokteran. Sejumlah tokoh, seperti
Dr. Wahidin Sudirohusodo dan Dr. Tjipto Mangoenkoesoemo pernah bersekolah di
sana. Sam merasa tertarik terhadap sekolah itu setelah melakukan korespondensi
dengan saudara sepupunya.
Tak dinyana,
belakangan Sam mendapat beasiswa untuk bersekolah di sana. Maka, kesempatan
tersebut tak disia-siakannya, walaupun ibunya merasa sedih atas kepergian anak
bungsunya itu. Wajarlah, untuk ukuran orang Minahasa saat itu, Pulau Jawa
adalah suatu tempat yang sangat jauh. "Sekarang pergilah, engkau. Tapi,
janganlah kembali dengan kopor kosong," kata ayahnya berpesan. Tekad Sam
memang sudah bulat. "Saya akan belajar sungguh-sungguh. Dokter Jawa yang
sudah tua di Tondano itu akan saya gantikan tugasnya," ujarnya seolah
untuk meneguhkan tekadnya.
Ternyata, STOVIA
tak sebagus yang dibayangkannya. Karena merasa lebih berbakat di bidang teknik,
akhirnya Sam memilih belajar di sekolah teknik Koningin Wilhelmina School yang
juga berada di Jakarta. Selesai belajar di sini, pada 1908 Sam bekerja di
bagian teknik mesin pada proyek pembangunan kereta api di Priangan Selatan.
Di sinilah ia mulai
merasa kecewa atas perlakuan tidak adil terhadap kaum pribumi. Misalnya, ia
memperoleh gaji lebih kecil ketimbang teman-temannya yang Indo-Belanda. Ia
mendapat penginapan di perkampungan, sedangkan teman-temannya menginap di
hotel. Pengalaman itu membuatnya bertekad menuntut ilmu setinggi-tingginya.
Maka, pada usia 22
tahun, ia berangkat ke Belanda untuk kembali bersekolah. Yang menjadi
pilihannya adalah sekolah guru Middelbere Acte en Paedagogiek yang
diselesaikannya pada 1913. Setelah itu, ia melanjutkan studi sebagai mahasiswa
jurusan ilmu pasti di Vrije Universiteit Amsterdam. Sayang, saat hendak
mengikuti ujian pada 1915, Sam tidak diperkenankan. Alasannya, ia tidak
memiliki ijazah hoogere burger school (HBS) ataupun algemeene middelbare school
(AMS), yaitu ijazah sekolah menengah umum. Namun, Sam tak terlalu berkecil hati.
Oleh Mr. Abenden, seorang Belanda yang dijuluki "sahabat Hindia", ia
disarankan melanjutkan kuliah di Universitas Zurich, Swiss. Saran itu pun
dituruti Sam. Dalam waktu empat tahun, tepatnya pada 1919, Sam berhasil
menyelesaikan kuliah di Universitas Zurich dan menyandang gelar doktor untuk
bidang ilmu pasti dan ilmu alam.
Yang pasti, selama
belajar di Eropa, Sam giat sebagai aktivis di Indische Vereniging yang kelak
menjadi Perhimpunan Indonesia. Bahkan, ia sempat menjadi ketua organisasi itu
pada 1914. "Marilah kita menganggap ini suatu tugas suci bahwa kita
mempunyai satu pikiran mengenai hari kemudian Indonesia, di mana kita semua
harus mengambil bagian. Perbedaan pendapat di antara kita tentunya tidak
mungkin kita hindarkan. Tapi, tujuan kita sama, yaitu mempertinggi derajat
Indonesia. Kita masing-masing menjadi pejuang untuk tujuan kita itu,"
demikian dikatakan Sam dalam pidatonya saat terpilih menjadi ketua.
Selain aktif di organisasi,
ia juga rajin menulis di sejumlah surat kabar dan majalah, seperti Koloniale
Tijdschrift, De Stuw, Onze Kolonien, dan Indische Gids. Malah, di harian
Rotterdamsche Handelsblad, surat kabar yang berpengaruh di Belanda kala itu, ia
menjadi pembantu tetap. Salah satu tulisan Sam yang tergolong cemerlang ada
dalam buku kecil Serikat Islam yang diterbitkan dalam serial Onze Kolonien di
Belanda pada 1913.
Di situ, Sam
memaparkan bahwa Serikat Islam merupakan sebuah keharusan sejarah. Terutama
bila dikaitkan dengan perlakuan terhadap pribumi. Serikat Islam merupakan wujud
solidaritas pribumi atas perlakuan orang Eropa yang di luar batas. Perlakuan
itu menyakitkan bagi rasa keadilan. Menyedihkan dan merendahkan bila seseorang
menyaksikan bagaimana pengawas Eropa, opzichter, yang hanya karena sebuah
kesalahan kecil akan menyiksa dan mencaci seorang pribumi. Mengenai kegelisahan
Sam itu, Dhakidae mengatakan, "Bisa diduga, dari sinilah rasa harga diri
sebagai pribumi dan rasa kebangsaan itu mulai bersemi dalam diri dan pengalaman
pribadi Sam."
Toh, penghinaan
dari orang-orang Belanda tetap mendera Sam. Itu dirasakannya ketika ia,
sepulang dari Eropa, mengajar ilmu pasti dan ilmu alam di sekolah teknik
Prinses Juliana School (setingkat STM) di Yogyakarta, yang muridnya sebagian
besar adalah orang Belanda. Sam harus melihat kenyataan tentang orang-orang
Belanda yang berpikiran kolot. Mereka merasa tidak ikhlas jika anak-anaknya
diajar oleh orang Indonesia. Sam tetap dipandang sebagai inlander, sebutan yang
tidak mengenakkan kala itu. Bisa jadi, faktor itulah yang menyebabkan waktu
mengajarnya sangat singkat: hanya tiga tahun.
Kecewa di
Yogyakarta, Sam hijrah ke Bandung untuk mendirikan Maskapai Asuransi Indonesia
atau Algemene Levensverzekering Maatschappij Indonesia. Seperti telah
disebutkan, penggunaan nama "Indonesia" itu sempat membuat Soekarno
terkesan. Toh, menggeluti bisnis asuransi tak memberikan kepuasan baginya.
Berbagai kekecewaan itu menggiringnya kembali ke Manado. Di sinilah ia terpilih
sebagai Ketua Minahasa Raad. Sebenarnya, Sam tidak disukai pemerintah kolonial
untuk menduduki jabatan itu. Namun, apa daya, sebagian besar rakyat di sana
memang memilihnya.
Sebagai penganut
politik "ko", pada 1930 ia menjadi anggota Volksraad. Di dewan itu,
bersama Husni Thamrin dan Soetardjo Kartohadikoesoemo, Sam ikut meminta agar
Indonesia menjadi suatu negara sendiri sebagai dominion Belanda. Namun, karena
Indonesia dianggap belum matang, Belanda menolak keinginan itu. "Tiga
serangkai ini tak lain dari serigala nasionalis yang berbulu domba bagi
Belanda. Pada dasarnya mereka bermental 'non-ko' yang diselundupkan dalam kaum
'ko' dalam Volksraad," kata Dhakidae.
Lidah memang tajam.
Dan, lama-lama ucapan-ucapan Sam di Volksraad membuat Belanda gerah. Akhirnya, dilakukanlah
rekayasa "menjebak" Sam dalam sebuah skandal keuangan. Tudingan tidak
jujur diarahkan kepadanya dalam laporan perjalanan dinas anggota Volksraad,
yang mengakibatkan Belanda dirugikan sebesar 100 gulden.
Berbagai surat
kabar nasionalis menentang "jebakan" itu. Mereka menganggap hal itu
hanya tipu daya pemerintah kolonial. Masuk akal. Seperti dikatakan Tjaja
Timoer, jika nafsunya kepada uang memang seburuk itu, maka ia dengan mudah
menjual tenaganya kepada kaum kapitalis. Namun, sikap protes mereka itu tak
berarti apa-apa. Sebab, setelah menjalani proses hukum di kejaksaan kolonial,
Sam divonis empat bulan penjara, serta diskors dari Volksraad. "Sam
akhirnya menjadi korban Belanda dan 'pers putih', pers kolonial Belanda,"
begitu tulis Dhakidae.
Selanjutnya, Sam
menjalani masa tahanan di Sukamiskin, Bandung, pada 1936. Toh, justru karena
dipenjara itulah ia memiliki kesempatan untuk merenung dan menulis buku
keduanya tentang masalah Indonesia di Pasifik. Yang menjadi pokok perhatian
dalam tulisannya itu adalah Jepang. "Saya pikir bukan tanpa sengaja ia
memilih Jepang. Dengan jitu ia mencatat perkembangan ekonomi Jepang dan peran
Jepang dalam ekonomi Hindia Belanda," kata Dhakidae.
Di mata Dhakidae,
Sam memiliki kekaguman pada Jepang. "Ia yakin pada demokrasi. Namun,
demokrasi dalam pandangannya adalah de nationale demokratie, mungkin dengan
nuansa yang sangat lain," kata Dhakidae. Dan, itu pula yang diyakini
Dhakidae sebagai alasan yang membuat Sam tidak ragu-ragu menjadi penasihat
Jepang untuk Minseibu, pemerintah Angkatan Laut Jepang yang berkuasa di
Indonesia Timur. Sjahrir pun menganggap Sam tak jauh berbeda dengan Soekarno
dan Hatta, "Yang pernah membudak pada fasis kolonial Belanda atau fasis
militer Jepang."
Yang pasti, masih
banyak momen-momen penting yang dialami Sam. Saat menjabat Gubernur Sulawesi,
1946, Sam ditangkap Belanda dan dipenjarakan di Makassar dan Serui, Papua
Barat. Di sana pula ia sempat mensponsori pendirian Partai Kemerdekaan Irian.
Setelah dibebaskan dari tahanan pada 1948, Sam kembali aktif di dunia
pergerakan dan sempat menjadi penasihat pemerintahan Soekarno-Hatta di
Yogyakarta. Saat Istana Yogyakarta diserang Belanda pada Desember 1948, Sam
ikut tertangkap. Namun, ia tak sempat dibuang karena keburu sakit-sakitan. Sam
pun wafat pada 30 Juni 1949. Sebelum meninggal dunia, Sam sempat berkata kepada
anak-anaknya, "Orang akan mengatakan, kami mengenal baik ayahmu." Ya,
kami mengenal baik.